
[Siaran Pers] Reflection Session 1 Tailor-Made Training+ (TMT+) Orange Knowledge Programme by CfDS UGM & Data Research Centre (DRC) University of Groningen/Campus Fryslân
Juni 2, 2021 1:01 pm ||

Yogyakarta, 28 Mei 2021 – Kerja sama Center for Digital Society (CfDS) UGM dengan Data Research Centre (DRC), Campus Fryslân/ University of Groningen dalam program Tailor-Made Training+ (TMT+) Orange Knowledge Programme dengan tema “Enhancing Higher Education Capacity for an Inter-disciplinary Cybersecurity Study Program” mendapatkan hibah dari Nuffic Orange Knowledge Programme dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas tenaga profesional di perguruan tinggi terkait isu keamanan siber dalam kacamata multidisiplin.
Sebagai salah satu rangkaian kegiatannya, CfDS dan DRC melaksanakan Reflection Session yang dilakukan pada hari Jumat, 28 Mei 2021. Sesi ini dilaksanakan secara hybrid, melalui Zoom virtual meeting dan luring di Marriot Hotel Yogyakarta (13.30 – 16.00 WIB) secara bersamaan. Kegiatan dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan, dimana peserta dan panitia yang bertugas terlebih dahulu melalui tes rapid antigen di ruangan yang berbeda. Sesi dipandu oleh Anisa Pratita Mantovani (Research Manager CfDS) selaku MC dan Annisa Wiharani (Adjunct Researcher CfDS) selaku moderator diskusi.
Sesi dibuka dengan sambutan dari Executive Secretary CfDS, Diah Angendari, secara luring dan dilanjutkan oleh sambutan dari perwakilan DRC, Dr. Oscar J. Gstrein, Amaranta Luna Arteaga, dan juga Tais Blauth secara daring. Dalam Reflection Session kali ini, CfDS mengundang Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MURP., Ph.D. selaku Research Advisor CfDS sebagai pemantik diskusi.
Karakter Multidisipliner dalam Cybersecurity
Perkembangan teknologi sudah sampai di titik lahirnya sebuah dunia baru di internet yang disebut ruang siber atau cyber space. Layaknya real space, ruang siber juga berkembang untuk mewadahi segala aspek dan kegiatan manusia seperti sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Namun sayangnya, ruang siber di Indonesia belum dinaungi oleh seperangkat regulasi dan didukung oleh literasi yang baik dari masyarakat. Hingga saat ini, ruang siber belum dapat dikelola sebaik real space. “Cyber space bisa dianggap sebagai hutan belantara yang belum tereksplor dan terkelola dengan baik sehingga masih banyak gejolak yang berupa ancaman dan kejahatan di dalamnya yang sulit diusut hingga selesai”, ujar Prof. Djunaedi.
Prof. Djunaedi menekankan dalam pemaparannya bahwa pesatnya perkembangan teknologi informasi ini mengharuskan adanya kolaborasi multidisipliner dari para pemangku kepentingan. Sementara pemerintah menyusun kebijakan yang dapat meregulasi ruang siber, aktor lain dari berbagai industri serta institusi pendidikan harus menyertakan inovasi dan turut mengedukasi masyarakat terkait penguatan keamanan siber. “Seperti COVID-19, walaupun aspek utama yang ditekankan adalah dari segi medis dan kesehatan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa COVID-19 juga berdampak pada kehidupan sosio-ekonomi serta politik di masing-masing negara. Sama halnya seperti cybersecurity, aspek teknologi bukan lah satu-satunya aspek yang diangkat dalam penggalangannya”, jelas Prof. Djunaedi.
Menurut The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), terdapat sembilan prinsip yang harus dipegang untuk mendukung peningkatan keamanan siber, yaitu (i) kesadaran masyarakat, (ii) tanggung jawab, (iii) respon, (iv) penilaian risiko, (v) desain dan implementasi keamanan, (vi) manajemen keamanan, (vii) penilaian ulang, (viii) etika, dan (ix) demokrasi. Prinsip-prinsip tersebut menyangkut kebijakan, organisasional, teknologi, dan kemasyarakatan yang menunjukkan pentingnya upaya multidisiplin dalam meningkatkan keamanan siber.
Mengatur Cyber Space Indonesia
Peningkatan cybersecurity tentu tidak terlepas dari kebutuhan seperangkat regulasi dan kebijakan publik yang dapat mendorong kenyamanan beraktivitas di ruang siber. Di Indonesia, pemerintah terus berupaya untuk mengakomodasi ruang siber melalui kebijakannya. Dibentuknya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta hadirnya beberapa kebijakan yang menjadi landasan dasar keamanan siber di Indonesia seperti UU ITE No. 11 Tahun 2008 dan PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Walaupun demikian, terdapat pula perdebatan di masyarakat yang mneyoroti penyelenggaraan kebijakan terkait keamanan siber. Di satu sisi, masyarakat mendukung implementasi kebijakan tersebut, karena pemerintah perlu untuk mencegah dan menindak segala ancaman dan kejahatan siber. Di sisi lainnya, masyarakat juga mengkritisi hadirnya regulasi untuk ‘mengatur’ ruang siber ini terkadang dapat mengekang kebebasan bersuara dan berekspresi masyarakat Indonesia.
Dalam segmen diskusi interaktif bersama peserta, Haekal Al Asyari,. S.H., LL.M dari Departemen Hukum International FH UGM menjelaskan bahwa negara-negara yang sudah memiliki keamanan siber, biasanya memiliki landasan nilai-nilai dalam tatanan masyarakatnya yang kuat. Sedangkan Indonesia terkesan ‘melompat’ langsung kepada pengadaan kebijakan untuk keamanan siber tanpa memerhatikan nilai-nilai yang melandasinya di dalam masyarakat. “Arah kebijakan dan pendekatan yang mau diambil oleh Indonesia dalam aspek keamanan siber masih belum jelas. Indonesia harus memposisikan diri di lingkungan global dalam menentukan arah kebijakan dan pengembangan teknologi informasi”, imbuhnya.
Arindha Nityasari dari Institute of International Studies UGM juga mempertanyakan efektivitas pemerintah dalam mengatur cyber space karena sifatnya yang transnasional. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan ketika negara tidak bisa mengelola ruang siber maka apakah titik kuasa lambat laun dapat dimiliki oleh industri teknologi dan informasi.
Masyarakat sebagai Pilar Cybersecurity
Selain kebijakan, pemahaman dan kesadaran masyarakat juga menjadi pilar utama dalam menunjang cybersecurity di Indonesia. Dr. Wing Wahyu Winarno, S.E., Ak., M.A.F.I.S., C.A. dari STIE YKPN Yogyakarta memaparkan bahwa harus ada pendidikan terkait cybersecurity untuk masyarakat Indonesia secara masif, dari hal yang paling kecil seperti pengelolaan kata sandi. Ir. Paulus Insap Santosa, M.Sc., Ph.D., IPU dari Departemen TETI FT UGM menambahkan, kepatuhan masyarakat dalam menghormati privasi sesama dan menjaga privasi masing-masing adalah landasan utama cybersecurity yang kuat bagi suatu negara. Sehingga, pendekatan pemerintah sudah seharusnya menekankan pada peningkatan kepatuhan masyarakat atas privasi baik di dunia nyata maupun di cyber space.
Diskusi berlanjut dengan partisipasi beberapa peserta yang turut menyampaikan tanggapan, baik secara luring maupun daring. Sesi diskusi ditutup oleh moderator dan MC dan diakhiri dengan foto bersama.
Untuk informasi lebih lanjut terkait program dan pelaksanaannya, hubungi Kami melalui email CfDS (cfds.fisiplol@ugm.ac.id), atau Ruth Tarullyna Simanjuntak (ruth.t.s@ugm.ac.id).