[Siaran Pers] Difussion #69 “Tinder Blunder: Dilema dalam Aplikasi Kencan Daring”

Maret 4, 2022 10:17 am || By

Digitalisasi menghadirkan berbagai pembaharuan dan kemudahan untuk masyarakat. Bak hidup di dua dunia sekaligus, saat ini seseorang dapat dengan mudah melakukan sesuatu yang mungkin memerlukan lebih banyak usaha di dunia nyata, lewat layar virtual. Kemudahan tersebut, juga mencakup kegiatan menjalin sebuah hubungan asmara. Dalam Difussion #69, CfDS mencoba mengulik lebih lanjut terkait fenomena online dating apps, yang semakin akrab di tengah masyarakat. Dimoderatori oleh Aldo Rafi (Community Outreach Assistant CfDS), diskusi kali ini menghadirkan dua narasumber peneliti CfDS, yaitu Firya Q. Abisono dan Amelinda Pandu, untuk memaparkan hal menarik seputar dilema aplikasi kencan daring. Smart People dapat menyaksikan diskusi lengkapnya di Youtube CfDS https://youtu.be/8-v7HRfw61Q

Dominasi Algoritma di Aplikasi Kencan Daring

Mengawali presentasinya Firya memaparkan kehadiran aplikasi kencan daring saat ini telah muncul dalam banyak ragam varian yang memiliki tujuan, target pengguna, dan fitur yang berbeda. Peningkatan jumlah pengguna aplikasi terjadi didorong dengan adanya kondisi pandemi Covid-19, yang membatasi ruang bertemu masyarakat di dunia nyata. Aplikasi Tinder, menjadi aplikasi yang populer digunakan, dengan saat ini telah mencapai 9,6 juta pengguna di dunia. 

            Di Indonesia sendiri, aplikasi kencan daring mulai berkembang dan mendapat perhatian beberapa tahun belakangan ini. Aplikasi seperti Tinder, Tantan, OkCupid, TaarufID, dan Setipe menjadi aplikasi yang banyak digunakan. Sebagai negara yang memiliki jumlah pengguna internet tertinggi, masyarakat Indonesia turut memanfaatkan aplikasi kencan daring untuk dapat memenuhi tujuan atau kebutuhan untuk berhubungan sosial, termasuk asmara. 

            Aplikasi kencan daring atau online dating apps dapat diartikan sebagai aktivitas komputer yang dibuat secara sengaja untuk menemui orang baru dengan mediasi situs internet yang dirancang khusus untuk tujuan mencari pasangan. Karakteristik unik yang ditawarkan aplikasi ini adalah adanya fitur profil individu pengguna. Profil ini dapat diisi oleh pengguna dengan berbagai informasi diri untuk menciptakan atau membentuk gambaran diri, seperti apa ingin dilihat dalam aplikasi. 

            Firya menyebutkan bahwa terdapat permasalahan yang dapat muncul dengan seiring aplikasi ini digunakan, yaitu perihal algoritma aplikasi kencan daring yang memproses data dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan informasi yang diberikan langsung oleh pengguna. Algoritma menyesuaikan preferensi kita dengan kesesuaian profil dalam aplikasi. 

            “Aplikasi ini seakan mendorong atau memberikan kontrol atas preferensi pasangan yang kita inginkan. Ini membuat kita terjebak dalam filter bubble. Ketika kita biasa mencari satu hal spesifik secara rutin, mesin mendorong hal tersebut terus muncul di layar kita” ujarnya. 

            Filter Bubble membuat seseorang akan tertarik pada orang yang compatible baik secara ideologis, demografis, atau sosio-ekonomis, sesuai preferensinya. Secara tidak sadar hal ini membuat adanya kotak-kotak pengguna yang diarahkan atau dibuat oleh aplikasi. Permasalahan lain terkait data komodifikasi juga dapat muncul. Kecenderungan terjebak dalam aplikasi dan adanya iklan yang ikut muncul sesuai preferensi dan minat kita akibat algoritma yang menyesuaikan bahkan di seluruh media sosial lainnya. 

            “Don’t invest yourself for relationship. Bermainlah dengan pemikiran nothing to lose, tapi tetap jangan sampai me-lose-kan data-data kalian sepenuhnya. Hati-hati bertinder, jaga diri, data dan privasi kalian” papar Firya

Tinder sebagai Ruang Eksistensi Diri 

            Di sisi lain, Amelinda menyampaikan hasil penelitiannya terkait pengalaman kaum muda dalam bermain aplikasi kencan daring, yang dilakukan sebelum masa pandemi. Sebagaimana Indonesia masih menjunjung nilai komunalitas, meyakini hubungan untuk membangun rumah tangga melalui ikatan pernikahan sebagai salah satu tuntutan sosial, pemilihan jodoh kerap menjadi masalah yang harus dilalui seseorang. 

            Selama ini seseorang memiliki kecenderungan memilih seseorang yang telah dikenal atau seseorang yang ada dalam lingkungan sosialnya. Digitalisasi membuat banyak aspek terdisrupsi terhadap kultur kencan di Indonesia. Hal menarik ditemukan dari hasil wawancara narasumber penelitian. Dimana ditemukan bahwa hubungan yang dijalin di Tinder memiliki kekurangan dan perbedaan dari hubungan yang dijalin tanpa Tinder. Pengguna Tinder dianggap lebih terbuka dan dapat menerima orang dengan berbagai ragam identitas. 

Tinder juga menghilangkan tekanan yang biasa diterima laki-laki sebagai pihak yang harus memulai pendekatan, karena di Tinder laki-laki ataupun wanita memiliki kesempatan yang sama. Menurut sebagian orang, Tinder dapat menjadi tempat pencarian jodoh bagi orang-orang yang putus asa dan ingin simple. Walaupun saat ini masih ada stigma negatif terhadap pengguna Tinder di masyarakat, yang dianggap kurang baik atau tidak dapat diterima di lingkungan sosial dunia nyata. 

Amel mengatakan bahwa aplikasi kencan daring dapat memberikan ruang bagi kaum muda yang tidak masuk dalam status-quo, karena dalam aplikasi dapat dikaburkan batasan tersebut. Mencoba aplikasi kencan daring adalah hal yang sah dan dapat coba untuk dilakukan, namun dengan tetap memerhatikan keamanan data kita. 

Love is temporary, but Google/Tinder is eternal. Kita saat ini hidup di dunia yang menempatkan victim sebagai yang serba salah dan selalu merasakan getahnya. Sebaiknya selalu berjaga-jaga karena internet itu selamanya, sekali data tersebut tersebar, selamanya dia akan ada di sana” ujar Amel di penghujung acara. 

Penulis: Ni Kadek Ayu Pratiwi
Editor: Firya Q. Abisono